Ketika aku keluar menyapa langit, ku rasa senja mendangkal berganti dengan kabut yang semakin penuh berkuasa. Walau masih tersisa sedikit kehangatan, namun tak menghangat dikulit tanganku yang sudah mulai dipenuhi dengan rambut-rambut yang berdiri.
Entah mengapa dalam kedinginan mereka malah berdiri, bukannya meringkuk saja seperti yang biasa aku lakukan di bawah selimut.
Tak ada yang banyak berbeda, merekapun juga kuselimuti hangat dengan sweaterku. Memang aneh. Atau malah aku yang aneh, ah sudahlah aku terlalu capek untuk berurusan dengan hal-hal yang membuat pikiranku tak nyaman. Aku hanya ingin menikmati hari ini yang masih menyisakan waktu untukku.
Kembali angin menerpa kulitku, akan tetapi kali ini bukan hanya rambut ditanganku yang dibuat berdiri. Hampir disekujur tubuhku, sial! Mengapa kabut semakin menebal saja,tak bolehkah aku melepas rindu sejenak pada bulan yang hampir membukakan pintu untukku?
Atau mungkin anginpun menyukaiku,sehingga mereka berusaha menghalangiku meluluhkan rasa kangenku pada bulan. Ia mungkin lebih senang mengintipku dibalik tembok yang tebal dan meringkuk dibalik selimut dengan baju tidurku. Ia mungkin malu mengatakan perasaannya padaku.
Aku tak akan menyerah. Aku masih tetap menunggu bulan membuka pintunya untukku. Aku tahu ia masih suka menyapaku dengan kata-katanya. Aku masih percaya dia mampu menidurkan lagi rambut-rambut ditubuhku yang terjaga karena sapuan angin.
Lima, dua puluh, lima puluh, enam puluh lima. Lewat satu jam bulan tak juga muncul, padahal biasanya tak sampai lima menit ia sudah menyapaku dengan senyumnya. Ah mungkin ia masih tertidur. Kucoba berdendang seadanya untuk membangunkannya, dan mengingatkannya bahwa ia harus segera bangun untuk berjaga.
Tak sia-sia rupanya aku berdendang. Yah walaupun banyak yang tak setuju dengan suaraku, paling tidak bulan sudah mulai mengintipku meskipun baru setengah kelopak matanya yang terbuka. Tak apa.
“Hai.” benarkan dia menyapaku. Ah tapi sepertinya ia lain dari biasanya. Ia tak memberi senyum padaku. Ia hanya duduk disampingku dan diam. Aku juga ikut terdiam sesaat. Kemudian aku berganti tempat dihadapannya agar wajahnya dapat kuamati dengan seksama.
Ia menunduk, mungkin takut aku mengetahui sesuatu yang tak ingin dia sampaikan padaku. Tapi aku berusaha tetap melihat wajahnya. Ia mendongakkan kepala. Matanya memerah, dan ia berkata “Maafkan aku.” Lalu bangkit dan beranjak dari sisiku.
Kuikuti langkahnya, namun agaknya ia tahu, dan semakin mempercepat langkahnya. Aku kembali kehilangan dia. Aku tertegun dan tanganku kembali menuai air mata. Saat kedua telapak tanganku masih disibukkan dengan pekerjaannya, ada sapaan yang mengejutkanku. “Bangunlah! Jangan harapkan dia kembali, aku telah ada disampingmu.”
Akupun mengikuti langkahnya, ia ternyata lebih menguatkanku. Kutinggalkan bulan yang menghilang dari mimpiku. Terima kasih pelangi pagiku.
- dee java
- Aku adalah aku....!!Aku hanya manusia biasa yg punya salah & khilaf..
__BLOGS__
Isi Postingan
- __LeLuCoN__ (2)
- __WiSaTa__ (1)
- __ZoDiAk__ (1)
- Agama (7)
- FriEnD's (2)
- Kejawen (2)
- PaHLaWaN DeViSa (2)
- UmuM (3)
No comments:
Post a Comment